Ads 468x60px

Monday, November 21, 2011

Pemandian Lubuk Tempurung


Alam Kotaku Masih Lembut Menyentuh’
Pagi bergerak menjauh ketika sekumpulan pemuda hendak menelusur keindahan alam perawan di Ibukota Provinsi Sumatera Barat. Menempuh perjalanan sekira satu jam berkendara, menjauhi pusat kota Padang, tujuh ‘pencari keindahan’ menuju sebuah tempat wisata alam yang hampir luput dari perhatian banyak orang di Kota Padang.
Sarasah Pak Uruang. Kesanalah tujuh pemuda itu akan menelisik keindahan alam pinggir kota Padang. Sarasah berarti air terjun. Pak Uruang adalah nama air terjun di kawasan kecil daerah Guo Pitameh Kelurahan Kuranji Kecamatan Kuranji Kota Padang.
Sarasah Pak Uruang, yaa…itulah namanya, agaknya masih asing didengar oleh kebanyakan masyarakat di Padang, kecuali warga sekitar daerah Guo Pitameh sendiri. Masyarakat Padang ataupun pendatang yang pernah berkunjung ke kawasan wisata alam itu lebih mengenalnya dengan sebutan Lubuak Tampuruang (Lubuk Tempurung).
Perjalanan menggunakan kendaraan bermotor menuju kawasan tersebut cukup memanjakan mata. Melewati jalan raya By Pass Padang, tujuh pemuda itu–Arif Pribadi, Adri Yan, Aulia Rahmi, End Kiting, Yulia Niesa IchAa, Atta Nidjiholic dan Santi Syafiana–bergerak menyusuri jalan ke kawasan Balimbiang yang di sampingnya membentang salah satu sungai besar di Padang yakni Sungai Batang Kuranji.
Untuk mencapai persimpangan masuk ke daerah Guo Pitameh, dibutuhkan waktu 20 menit berkendara dari simpang By Pass menuju ke arah Balimbiang. Sedangkan perjalan dari Balimbiang menuju daerah kecil Guo Pitameh itu dilewati dengan medan cukup berat, membutuhkan waktu sekira 10-15 menit. Topografi perbukitan Balimbiang yang mendaki sedikit menyulitkan tujuh pemuda itu, namun justru menjadi daya tarik dalam perjalanan.
Perjalanan dengan kendaraan bermotor berakhir di warung Pak Aliamar daerah Guo Pitameh, dan dilanjutkan dengan berjalan kaki sekira 15 menit untuk sampai di objek wisata Sarasah Pak Uruang.
“Saketek lae nyo bajalan kaki, hinggo sampai ka Lubuak Tampuruang,” kata Aliamar setelah perbincangan sejenak bersama tujuh pemuda itu.
Dengan sebutan wisata alam, perjalanan menuju Sarasah Pak Uruang benar-benar disuguhi dengan suasana alam nan asri dan eksotis. Pada lereng bukit Balimbiang terdapat jalan setapak menuju Sarasah Pak Uruang. Indah, kesan itulah yang terasa saat tiba di salah satu persimpangan jalan setapak, karena dari sana, Kota Padang terlihat jelas.
“Agak sa menit lae sampai ka lubuak tampuruang awak mah,” ujar End Kiting mahasiswa Universitas Negeri Padang.
Setibanya di pusat Sarasah, deru air terjun terdengar jelas dan alirannya tampak jelas menyela di bebatuan besar bukit Balimbiang yang membentang lebih dari 200 meter.
“Airnya jernih, sejuk, murni dan jauh dari cemaran zat-zat berbahaya, benar-benar alami, hingga ketika diminum mampu menghilangkan dahaga setelah lama diperjalanan,” kata Adri Yan, pembina salah satu surat kabar kampus di Padang.
Seakan aku dianjurkan berkata, “Alam kotaku masih lembut menyentuh.”
Sarasah Pak Uruang, Dulu dan Kini
Tidak ada yang tahu pasti bagaimana sejarah munculnya objek wisata alam Sarasah Pak Uruang (Lubuak Tampuruang) itu. Banyak pendapat menyebutkan bahwa nama Lubuak Tampuruang diindentikkan dari bentuk lubuk air terjun tersebut yang mirip dengan batok kelapa (tempurung). Tidak hanya satu, selain lubuk utama dengan air terjun setinggi 12 meteran dengan kendalaman mencapai tiga meter lebih dari permukaan air, terdapat beberapa cengkungan lainnya dengan bentuk memang seperti tempurung, kedalamannya bervariasi, satu hingga satu setengah meter.
Informasi yang dihimpun dari warga asli Guo Pitameh, menuturkan di tahun 50-an daerah Guo Pitameh tersebut hanya dihuni oleh tiga kepala keluarga dari suku Melayu keturunan Darek (kawasan sekitar Agam dan Bukittinggi). Sedangkan yang dituakan dari tiga kepala keluarga tersebut bernama Uruang yang dipanggil dengan sebutan Pak Uruang.
“Cerita yang kami peroleh dari orang tua mengatakan Pak Uruang itulah yang pertama kali mendiami daerah Guo Pitameh ini,” kata Nazaruddin (55) alias Bujang.
Lambat laun, pendatang semakin bertambah dan menempati daerah Guo Pitameh untuk menetap sekaligus membuka ladang. Untuk memenuhi kebutuhan air, kata Bujang, warga memanfaatkan air sungai yang berasal dari air terjun tersebut.
Dahulu, tidak ada yang memberi nama air terjun itu. Masyarakat sekitar mengenalnya dengan sebutan Sarasah Pak Uruang, sesuai dengan nama orang pertama yang mendiami daerah Guo Pitameh.
Pada Operasi Bakti ABRI di tahun 1983, lanjutnya, kegiatan Bakti ABRI dipusatkan untuk membuka jalan setapak dari daerah Balimbiang menuju daerah kecil Guo Pitameh dan diteruskan hingga menuju ke Sarasah Pak uruang. Pada Operasi Bakti ABRI itulah baru muncul nama Lubuak Tampuruang.
“Nama Lubuak Tampuruang itu dibuat pada Operasi Bakti ABRI, jadi ABRI yang memberi nama Lubuak Tampuruang,” kata Bujang.
Namun, meski telah bernama lubuak tampuruang, masyarakat sekitar tetap menyebut objek wisata di daerah Guo Pitameh itu sebagai Sarasah Pak Uruang yang berarti Air terjun Pak Uruang.
Bujang melanjutkan, kejernihan Sarasah Pak Uruang dari dulu hingga kini tetap sama. Airnya tetap seperti dulu, tidak mengalami perubahan apapun. Bahkan pengunjungpun dari dulu hingga kini tak berubah, masih lengang, kecuali sekali semusim memasuki Bulan Ramadhan.
Masyarakat sekitar Kecamatan Kuranji, katanya, pada sehari menjelang bulan Ramadhan, menggelar ritual ‘balimau’ (mensucikan diri) dengan cara mandi dengan bunga-bunga.
Meski menurut ajaran Islam, ritual ‘balimau’ termasuk dilarang, karena mengandung unsur bid’ah (mengada-ada), namun saat itulah Sarasah Pak Uruang mengalami puncak keramaian, selain di hari libur.
“Pengunjung pun lebih banyak dari masyarakat sekitar Kecamatan Kuranji,” ujarnya.
Bujang menceritakan, awalnya di tahun 1983, Sarasah Pak Uruang dikenal sebagai objek wisata alam ketika mahasiswa dari salah satu perguruan tinggi di Padang ingin mencari lokasi berwisata.
Lalu, masyarakat sekitar mengarahkan mahasiswa tersebut ke Sarasah Pak Uruang. Penilaian positif pun muncul dari para mahasiswa tersebut. Sarasah Pak uruang dianggap memiliki potensi wisata yang sangat bagus dengan mengandalkan keasrian alam sebagai daya tarik.
“Di tahun 1983 itu juga, informasi mengenai Sarasah Pak Uruang disebarluaskan ke khalayak ramai,” tambah Bujang.
Sempat juga masyarakat sekitar mengajukan proposal guna pengembangan objek wisata alam Sarasah Pak Uruang menjadi salah satu objek wisata andalan Kota Padang. Namun hingga kini, kata Bujang, belum ada perhatian khusus dari pemerintah Padang terhadap objek wisata itu.
“Delapan tahun lalu, jalan menuju ke Guo Pitameh telah diperlebar sehingga bisa dilalui kendaraan bermotor, namun disayangkan masih belum ada perhatian Pemko Padang untuk memperbagus jalan,” keluh Bujang.
Menurut Bujang, bisa jadi hal ini yang menjadi penyebab masih kurangnya pengunjung ke kawasan wisata alam Sarasah Pak Uruang.
Selain itu, satu jam berjalan kaki dari Guo Pitameh, masih ada lagi dua air terjun yang masih perawan dan tak kalah bagusnya.
“Sarasah Sakaian Gariang dan Sarasah Tigo Pangkat, dua objek wisata alam yang juga masih belum tersentuh oleh perhatian pemerintah secara signifikan,” tambah Bujang.
Bujang mewakili harapan warga Guo Pitameh sangat menginginkan perhatian Pemko Padang agar objek wisata alam yang ada di daerah mereka dapat menjadi kebanggaan warga sekitar dan juga sumber penghasilan dari aspek pariwisata.
Sarasah Pak Uruang Dalam Daftar Perhatian
Harapan masyarakat Guo Pitameh agaknya terpenuhi, sebab objek wisata seperti Sarasah Pak Uruang dan sejenisnya yang ada di Padang tengah dalam perhatian Pemko Padang. Meski masih dalam perhatian, Pemko Padang melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata telah lama mengagendakan pengembangan objek wisata alam yang ada di pinggiran Kota Padang itu.
Kepala Dinas Budaya dan Pariwisata Kota Padang, Edi Hasymi, mengatakan Pemko Padang telah lama memperhatikan potensi objek wisata alam yang ada di Kota Padang sejak tahun 2000.
“Pada tahun 2000 Pemko Padang telah mencoba mengembangkan potensi objek wisata air terjun itu dengan melakukan pelebaran jalan ke kawasan Guo Pitameh sehingga bisa dilalui oleh kendaraan bermotor,” katanya.
Menurut Edi, untuk pengembangan secara menyeluruh terhadap potensi objek wisata pinggir kota Padang membutuhkan anggaran yang tidak sedikit.
Sementara itu, Pemko Padang masih menfokuskan perhatian untuk pengembangan objek wisata di Pantai Padang.
Ia mengatakan, perhatian pemerintah seharusnya juga didukung oleh inisiatif dari masyarakat sekitar untuk mengelola secara sederhana terhadap potensi alam yang telah ada.
“Lembaga Pemberdayaan Masyarakat di Kelurahan Kuranji diminta untuk mampu mengelola potensi objek wisata yang ada di kelurahan,” ujarnya.
Pengelolaan secara sederhana, menurutnya dapat dilakukan melalui pembenahan akses jalan secara swadaya dari masyarakat.
Setelah akses sudah lebih baik, maka Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Padang, siap untuk mempromosikan dan menentukan retribusi masuk kawasan wisata.
“Pemanfaatan potensi wisata yang ada di pinggiran kota Padang membutuhkan sinergitas antara kesiapan pemerintah dan inisiatif masyarakat sekitar,” katanya.

2 comments:

Anonymous said...

Mantap Naon Gan Articlenya

Admin : said...

@tq gan komengnya

Post a Comment